Hikayat kisah Prabu Kian Santang
Kian Santang adalah tokoh tasawuf dari tanah pasundan yang ceritanya melegenda khususnya di hati masarakat pasundan dan kaum tasawuf ditanah air pada umumnya. Tokoh kian-santang ini pertama kali berhembus dan dikisahkan oleh raden CAKRABUANA atau pangeran walangsungsang ketika menyebarkan islam di tanah cirebon dan pasundan. Pangeran cakrabuana adalah anak dari prabu sili-wangi atau jaya dewata raja pajajaran, yang dilahirkan dari permaisuri ketiga yang bernama nyi subang larang, subang-larang sendiri murid dari mubaliq kondang yaitu syeh maulana-hasanudin atau terkenal dengan syeh kuro krawang.
Sejarah 'Disebut' atau di panggil "Kian San Tang"
Mulanya yaitu, ketika raden walangsungsang memilih untuk pergi meninggalkan galuh pakuan atau pajajaran, yang di sibebabkan oleh keberbedaan haluan dengan keyakinan ayahnya yang memeluk agama “shangyang”, pada waktu itu. diriwayatkan beliau berkelana mensyi’arkan islam bersama adiknya yaitu rara santang (ibu dari syarif hidayatullah atau “sunan gunung jati”) dengan membuka perkampungan di pesisir utara yang menjadi cikal-bakal kerajaan caruban atau kasunanan cirebon yang sekarang adalah “kota madya cirebon”.
Silsilah prabu Kian Santang
Legenda kian-santang sendiri diambil dari sebuah kisah nyata, dari tanah pasundan tempo dulu yang ceritanya pada waktu itu tersimpan rapi berbentuk buku di perpustakaan kerajaan pajajaran. Karena pajajaran adalah hasil penyatuan dua kerajaan antara galuh dan kerajaan sunda pura yang dimana kerajaan galuh dan sundapura adalah dua kerajaan pecahan dari taruma negara, yang di masa prabu PURNA-WARMAN yaitu raja ketiga dari kerajaan taruma negara yang di pecah menjadi dua yaitu tarumanegara yang berganti sundapura dan ibukota lama menjadi galuh pakuan. Dan jaya dewata menyatukan kembali dua pecahan kerajaan taruma negara menjadi pajajaran.
Di mana di kisahkan pada waktu itu yaitu abad ke 4m atau tahun 450 pernah terdapat putra mahkota yang sakti mandraguna bernama GAGAK LUMAYUNG yang dalam ceritanya “di tataran suda dan sekitarnya ,tak ada yang mampu mengalahkan ilmu kesaktiannya. hingga suatu saat datang pasukan dari dinasti TANG yang hendak menaklukkan kerajaan tarumanegara. namun berkat gagak lumayung, pasukan TANG dapat di halau dan tunggang-langgang meninggalkan taruma negara.
Semenjak itu raden gagak lumayung di beri sebutan ”KI AN SAN TANG” atau ”penakluk pasukan tang” Di ceritakan sang kiansantang ini karena saking saktinya hingga dia rindu kepingin melihat darahnya sendiri. Hingga sampailah di suatu ketika sa’at dia mendapat wangsit di tapabratanya bahwah di tanah arab terdapat orang sakti mandraguna.
Kisah Asal Mula Kian Santang Masuk Islam
Konon: dengan ajian napak sancangnya raden kian santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja. “Di mana dalam ceritanya ketika sampai di pesisir beliau bertemu seorang kakek ,dan padanya dia minta untuk di tunjukan di mana orang sakti yang kian santang maksud tersebut”. Dan dengan senang hati si-kakek tersebut menyanggupinya dan sementara dia mengajak beliau “kiansantang” untuk mampir dulu ke rumahnya.
Al-kisah setelah sampai di rumahnya tongkat dari sang kakek tersebut tertinggal di pesisir dan minta kian santang untuk mengambilkanya ,konon dikisahkan si-kian santang tak mampu mencabutnya sampai tanganya berdarah-darah ,disitulah kian santang baru sadar kalau kakek itu adalah orang yang di carinya. Dan akhirnya dengan membaca kalimah syahadat yang di ajarkan sang kakek tadi “yang akhirnya menjadi guru spiritualnya” tongkat tersebut dapat di cabut .
Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang. Dan yang aneh, kebanyakan orang menduga kalau kian santang itu adalah raden walang sungsang. Padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah raden walang sungsang tersebut. Yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan justru dialah yang di kira pelaku (raden walang sungsang atau pangeran cakrabuana) sebagai tokoh yang diceritakan itu. Tujuannya adalah hanya sebagai media dakwah dan penyebaran islam di bumi cirbon dan sekitarnya. Sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka raden walangsungsang adalah kian santang bahkan ada yang menafikan kian santang adalah adik cakrabuana dan kakak dari rara santang.
Raden walangsungsang mengambil cerita ini dari perpustakaan kerajaan pajajaran dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya, Yang di mana kian santang setelah pulang dari arab dia ingin meng-islamkan ayahnya prabu purnawarman namun di tolaknya dan kian santang memilih meninggalkan istana dan tahtanya di berikan adiknya yaitu darmayawarman. Begitu pula raden walang sungsang yang pernah merantau ke arab dan meningkahkan adiknya rara santang yang di ambil istri oleh putra kerajaan mesir waktu itu dan pernikahan berlangsum di mesir yang dari perkawinan inilah nanti akan lahirlah raden syarif hidayatullah atau sunan gunung jati.
Keinginan Walangsungsang untuk meng-islamkan prabu siliwangi ditolak mentah-mentah dan ayahnya tidak ingin bertarung dengan anaknya maka dia memilih mensucikan diri atau bertapa, konon beliau menjelma macan putih. Pengambilan kisah penokohan dalam sebuah ceritra seperti ini sebenarnya pernah pula terjadi pada era sebelum raden walang sungsang yang tepatnya dilakukan oleh raja jaya-baya (raja islam pertama di tanah jawa) dari kerajaan panjalu atau kediri, di mana suaktu masih di pegang raja airlangga kerajaan tersebut bernama kerajaan KAHURIPAN dan karena kedua anaknya semua meminta tahta maka kahuripan di bagi dua yaitu panjalu dan jenggala. Sepanjang perkembangan dua kerajaan tersebut selalu bermusuhan dan pada masa kerajaan panjalu dirajai oleh jaya baya, panjalu mampu menaklukkan jenggala dan di satukan lagi antara jenggala dan panjalu.
Pada waktu panjalu menaklukkan jenggala rajanya jaya-baya meminta empu sedha dan empu panuluh untuk mengutip naskah dari india yang judulnya maha barata. namun di ferifikasi dengan gaya jawa. Sebagai perlambang atas kemenangan perang saudara panjalu atas jenggala. Yang akhirnya kitab tersebut di beri judul barata-yuda. Dan dalam kisah klasik jawa ini banyak kalangan masarakat yang mengira bahwa jaya baya adalah kelanjutan dari trah barata yaitu cicit dari parikesit putra abimanyu.
Juga kisah lainnya yang serupa pernah pula hadir kemasarakat yang tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan ajaran syariat terhadap kaum sufi.maka ketika bergerak menyebarkan islam WALI SONGO menurt banyak kalangan membuat cerita al-halaq fersi indonesia yaitu syeh siti jenar. Yang menurut Doktor Simon dari UGM Yogja berdasarkan temuannya karya-karya besar berupa naskah suluk dari sunan kali jaga dan lain sebagainya. Dapat di pastikan tokoh siti jenar adalah imajener hanya untuk media dakwah dan melindungi islam agar tetap pada ajaran ahlusunah wa jamaah.
Dan sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli sejarah di tanah air.
Setelah selesai mujasmedi, Galantrang Setra meninggalkan Pajajaran menuju Tanah Mekkah dengan membawa bekal secukupnya. Hatinya tak sabar lagi ingin bertemu Sayyidina Ali. Sepanjang perjalanan dia membayangkan pertarungan hebat antara dirinya dengan orang Mekkah tersebut.
Terbesit juga dalam pikirannya bahwa akhirnya dialah yang menang. Dengan begitu maka dia akan dikenal sebagai pendekar pinunjul di seluruh jagat, bukan hanya di tanah Pasundan.
Betapa kecewa hati Kiansantang karena ayahnya menolak masuk Islam. Padahal menurutnya, Islam-lah agama yang benar. Dengan susah payah, dia membujuk ayahnya. Tapi tiada hasilnya. Prabu Siliwangi tetap memuja dewa. Hal ini membuatnya sadar, bahwa pengetahuannya tentang Islam masih sedikit sekali dan belum memahami cara-cara dakwah.
Akhirnya dia kembali ke Mekkah untuk belajar Islam lebih mendalam. Setelah tujuh tahun bermukim di sana, Prabu Kiansantang pulang lagi ke Pajajaran bersama dengan saudagar Arab. Saudagar itu bertujuan untuk berdagang di Pajajaran sambil membantu Kiansantang menyebarkan Islam.
Dengan bantuan para saudagar, Kiansantang menyebarkan Islam di kalangan masyarakat. Rencananya dia juga akan menyebarkan Islam di kalangan istana, terutama mengislamkan ayahandanya.
Setelah tidak berhasil mengislamkan ayahnya, Kiansantang pulang kembali ke keraton Pajajaran di Bogor. Dia biarkan ayah dan semua pengiringnya bersembunyi di Goa Sancang. Dalam perjalanan pulang, dia bertemu dengan seseorang yang katanya sedang mencari-cari dirinya.
Orang itu mengaku ingin masuk Islam. Tentu saja ini membuatnya sangat gembira. Ternyata ada orang yang dengan sukarela sudi masuk agama Allah. Maka dia pun membimbing orang asing itu mengucapkan dua kalimah syahadat.
Kiansantang mengajarkan bahwa Islam itu sangat memperhatikan kebersihan. Bahkan kebersihan itu bagian dari iman. Karena itu, seorang muslim harus selalu membersihkan dirinya, baik kebersihan lahir maupun batin. Salah satu bagian tubuh yang harus dibersihkan adalah kemaluan.
Jika kemaluan tidak bersih dari najis, maka tidak syah shalatnya. Sedangkan dzakar sulit dibersihkan karena ada kuncupnya. Supaya gampang dibersihkan, maka kuncupnya harus dibuang. Akhirnya orang yang baru masuk Islam itupun mau dikhitan.
Acara khitanan dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, tanpa resepsi dan yang mengkhitan pun Kiansantang sendiri. Mungkin karena terlalu gembira dan belum banyak pengalaman, Kiansantang gugup ketika mengkhitan, sehingga bukan hanya kuncupnya yang terpotong, tapi juga batang dzakarnya. Akibatnya orang itu mati. Mungkin karena kehabisan darah.
Prabu Kiansantang Dan Aji Suket Kalanjana
“Niat ingsun amatek ajiku si suket kalanjana, aji pengawasan soko sang hyang pramana, byar padhang jumengglang paningalingsun, sakabehing sipat podho katon saking kersaning Allah”
Untuk memiliki ajian ini maka harus menjalani laku yang berat yaitu puasa 40 hari, patigeni sehari semalam mulai hari Kamis Kliwon. Mantra dibaca setiap jam 12 malam selama menjalani puasa dan patigeni.
Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang;
Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan
BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.
Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).
.
Kian Santang Wafat
Akhirnya, dia kembali pergi menuju arah utara, ke wilayah Garut. Ketika sampai di sebuah gunung, diletakkanlah peti petunjuk itu di atas tanah. Tiba-tiba si peti godeg alias bergoyang-goyang. Ini pertanda tempat itu baik untuk dihuni. Maka disitulah Kiansantang tinggal hingga wafatnya setelah bertafakur selama sembilan belas tahun.
Kiansantang wafat dalam usia seratus enam tahun dan dimakamkan di sana. Kini tempat itu terkenal sebagai Makam Keramat Godog atau Makam Sunan Rohmat Suci. Sekitar satu kilo meter dari tempat ini berdirilah Masjid Pusaka Keramat Godog yang konon dibangun Kiansantang semasa uzlah. Dua tempat itu menjadi bukti adanya wali yang berasal dari keluarga raja Pajajaran.
Penutup;
Demikianlah sekilas mengenai uraian historis tentang Prabu Kian Santang dan perannya bersama Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.
Mengenai tokoh yang disebutkan sebagai Sayidina Ali dalam cerita ini, memang sedikit kontroversial. Mengingat kejadian, apakah mungkin yang dimaksud Sayidina Ali di sini adalah Ali Bin Abi Tholib RA, khalifah keempat dalam jajaran Khulafaur Rasyidin? Ataukah yang dimaksudkan adalah tokoh Sayidina Ali yang lain, mengingat angka tahun kejadian yang terpaut sangat jauh dengan masa kehidupan Sayidina Ali Bin Abi Tholib RA? Wallahu’alam.
Daftar Pustaka
• Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
• Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
• _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
• Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
• Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
• Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
• Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda.Bandung: Pustaka.
Sejarah 'Disebut' atau di panggil "Kian San Tang"
Silsilah prabu Kian Santang
Legenda kian-santang sendiri diambil dari sebuah kisah nyata, dari tanah pasundan tempo dulu yang ceritanya pada waktu itu tersimpan rapi berbentuk buku di perpustakaan kerajaan pajajaran. Karena pajajaran adalah hasil penyatuan dua kerajaan antara galuh dan kerajaan sunda pura yang dimana kerajaan galuh dan sundapura adalah dua kerajaan pecahan dari taruma negara, yang di masa prabu PURNA-WARMAN yaitu raja ketiga dari kerajaan taruma negara yang di pecah menjadi dua yaitu tarumanegara yang berganti sundapura dan ibukota lama menjadi galuh pakuan. Dan jaya dewata menyatukan kembali dua pecahan kerajaan taruma negara menjadi pajajaran.
Silsilah prabu Kian Santang |
Semenjak itu raden gagak lumayung di beri sebutan ”KI AN SAN TANG” atau ”penakluk pasukan tang” Di ceritakan sang kiansantang ini karena saking saktinya hingga dia rindu kepingin melihat darahnya sendiri. Hingga sampailah di suatu ketika sa’at dia mendapat wangsit di tapabratanya bahwah di tanah arab terdapat orang sakti mandraguna.
Kisah Asal Mula Kian Santang Masuk Islam
Konon: dengan ajian napak sancangnya raden kian santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja. “Di mana dalam ceritanya ketika sampai di pesisir beliau bertemu seorang kakek ,dan padanya dia minta untuk di tunjukan di mana orang sakti yang kian santang maksud tersebut”. Dan dengan senang hati si-kakek tersebut menyanggupinya dan sementara dia mengajak beliau “kiansantang” untuk mampir dulu ke rumahnya.
Al-kisah setelah sampai di rumahnya tongkat dari sang kakek tersebut tertinggal di pesisir dan minta kian santang untuk mengambilkanya ,konon dikisahkan si-kian santang tak mampu mencabutnya sampai tanganya berdarah-darah ,disitulah kian santang baru sadar kalau kakek itu adalah orang yang di carinya. Dan akhirnya dengan membaca kalimah syahadat yang di ajarkan sang kakek tadi “yang akhirnya menjadi guru spiritualnya” tongkat tersebut dapat di cabut .
Cerita tersebut membumi sekali sampai saat sekarang. Dan yang aneh, kebanyakan orang menduga kalau kian santang itu adalah raden walang sungsang. Padahal banyak sekali cerita yang sepadan dengan kisah raden walang sungsang tersebut. Yang sesungguhnya dialah yang mengisahkan justru dialah yang di kira pelaku (raden walang sungsang atau pangeran cakrabuana) sebagai tokoh yang diceritakan itu. Tujuannya adalah hanya sebagai media dakwah dan penyebaran islam di bumi cirbon dan sekitarnya. Sehingga sampai sekarang banyak kalangan yang menyangka raden walangsungsang adalah kian santang bahkan ada yang menafikan kian santang adalah adik cakrabuana dan kakak dari rara santang.
Al Qur’an –Prabu Kian Santang |
Keinginan Walangsungsang untuk meng-islamkan prabu siliwangi ditolak mentah-mentah dan ayahnya tidak ingin bertarung dengan anaknya maka dia memilih mensucikan diri atau bertapa, konon beliau menjelma macan putih. Pengambilan kisah penokohan dalam sebuah ceritra seperti ini sebenarnya pernah pula terjadi pada era sebelum raden walang sungsang yang tepatnya dilakukan oleh raja jaya-baya (raja islam pertama di tanah jawa) dari kerajaan panjalu atau kediri, di mana suaktu masih di pegang raja airlangga kerajaan tersebut bernama kerajaan KAHURIPAN dan karena kedua anaknya semua meminta tahta maka kahuripan di bagi dua yaitu panjalu dan jenggala. Sepanjang perkembangan dua kerajaan tersebut selalu bermusuhan dan pada masa kerajaan panjalu dirajai oleh jaya baya, panjalu mampu menaklukkan jenggala dan di satukan lagi antara jenggala dan panjalu.
Pada waktu panjalu menaklukkan jenggala rajanya jaya-baya meminta empu sedha dan empu panuluh untuk mengutip naskah dari india yang judulnya maha barata. namun di ferifikasi dengan gaya jawa. Sebagai perlambang atas kemenangan perang saudara panjalu atas jenggala. Yang akhirnya kitab tersebut di beri judul barata-yuda. Dan dalam kisah klasik jawa ini banyak kalangan masarakat yang mengira bahwa jaya baya adalah kelanjutan dari trah barata yaitu cicit dari parikesit putra abimanyu.
Juga kisah lainnya yang serupa pernah pula hadir kemasarakat yang tujuannya waktu itu sebagai media dakwah untuk melindungi rongrongan ajaran syariat terhadap kaum sufi.maka ketika bergerak menyebarkan islam WALI SONGO menurt banyak kalangan membuat cerita al-halaq fersi indonesia yaitu syeh siti jenar. Yang menurut Doktor Simon dari UGM Yogja berdasarkan temuannya karya-karya besar berupa naskah suluk dari sunan kali jaga dan lain sebagainya. Dapat di pastikan tokoh siti jenar adalah imajener hanya untuk media dakwah dan melindungi islam agar tetap pada ajaran ahlusunah wa jamaah.
Dan sampai saat ini pendapat itu masih simpang siur dan menjadi perdebatan dan polemik panjang oleh para ahli sejarah di tanah air.
Versi lain dari Kisah Kian Santang masuk Agama Islam
Setelah selesai mujasmedi, Galantrang Setra meninggalkan Pajajaran menuju Tanah Mekkah dengan membawa bekal secukupnya. Hatinya tak sabar lagi ingin bertemu Sayyidina Ali. Sepanjang perjalanan dia membayangkan pertarungan hebat antara dirinya dengan orang Mekkah tersebut.
Terbesit juga dalam pikirannya bahwa akhirnya dialah yang menang. Dengan begitu maka dia akan dikenal sebagai pendekar pinunjul di seluruh jagat, bukan hanya di tanah Pasundan.
Kisah Kian Santang di Mekah
Betapa kecewa hati Kiansantang karena ayahnya menolak masuk Islam. Padahal menurutnya, Islam-lah agama yang benar. Dengan susah payah, dia membujuk ayahnya. Tapi tiada hasilnya. Prabu Siliwangi tetap memuja dewa. Hal ini membuatnya sadar, bahwa pengetahuannya tentang Islam masih sedikit sekali dan belum memahami cara-cara dakwah.
Akhirnya dia kembali ke Mekkah untuk belajar Islam lebih mendalam. Setelah tujuh tahun bermukim di sana, Prabu Kiansantang pulang lagi ke Pajajaran bersama dengan saudagar Arab. Saudagar itu bertujuan untuk berdagang di Pajajaran sambil membantu Kiansantang menyebarkan Islam.
Dengan bantuan para saudagar, Kiansantang menyebarkan Islam di kalangan masyarakat. Rencananya dia juga akan menyebarkan Islam di kalangan istana, terutama mengislamkan ayahandanya.
Keinginan Ayahnya Masuk Islam
Setelah tidak berhasil mengislamkan ayahnya, Kiansantang pulang kembali ke keraton Pajajaran di Bogor. Dia biarkan ayah dan semua pengiringnya bersembunyi di Goa Sancang. Dalam perjalanan pulang, dia bertemu dengan seseorang yang katanya sedang mencari-cari dirinya.
Orang itu mengaku ingin masuk Islam. Tentu saja ini membuatnya sangat gembira. Ternyata ada orang yang dengan sukarela sudi masuk agama Allah. Maka dia pun membimbing orang asing itu mengucapkan dua kalimah syahadat.
Kiansantang mengajarkan bahwa Islam itu sangat memperhatikan kebersihan. Bahkan kebersihan itu bagian dari iman. Karena itu, seorang muslim harus selalu membersihkan dirinya, baik kebersihan lahir maupun batin. Salah satu bagian tubuh yang harus dibersihkan adalah kemaluan.
Jika kemaluan tidak bersih dari najis, maka tidak syah shalatnya. Sedangkan dzakar sulit dibersihkan karena ada kuncupnya. Supaya gampang dibersihkan, maka kuncupnya harus dibuang. Akhirnya orang yang baru masuk Islam itupun mau dikhitan.
Acara khitanan dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, tanpa resepsi dan yang mengkhitan pun Kiansantang sendiri. Mungkin karena terlalu gembira dan belum banyak pengalaman, Kiansantang gugup ketika mengkhitan, sehingga bukan hanya kuncupnya yang terpotong, tapi juga batang dzakarnya. Akibatnya orang itu mati. Mungkin karena kehabisan darah.
Prabu Kiansantang Dan Aji Suket Kalanjana
“Niat ingsun amatek ajiku si suket kalanjana, aji pengawasan soko sang hyang pramana, byar padhang jumengglang paningalingsun, sakabehing sipat podho katon saking kersaning Allah”
Aji suket kalanjana
Untuk memiliki ajian ini maka harus menjalani laku yang berat yaitu puasa 40 hari, patigeni sehari semalam mulai hari Kamis Kliwon. Mantra dibaca setiap jam 12 malam selama menjalani puasa dan patigeni.
Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang;
Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan
BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
Sumber-sumber Sejarah
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Tokoh Cakrabuana
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
Tokoh Syarif Hidayatullah
Tokoh Kian Santang dalam menyebarkan agama Islam
Senjata Pusaka - Prabu Kian Santang |
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.
Pertememuan dengan Sayidina Ali
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).
.
Kian Santang Pernah menjadi Raja Pajajaran
Kian Santang Wafat
Akhirnya, dia kembali pergi menuju arah utara, ke wilayah Garut. Ketika sampai di sebuah gunung, diletakkanlah peti petunjuk itu di atas tanah. Tiba-tiba si peti godeg alias bergoyang-goyang. Ini pertanda tempat itu baik untuk dihuni. Maka disitulah Kiansantang tinggal hingga wafatnya setelah bertafakur selama sembilan belas tahun.
Prasassti Ciburuy -Garut |
Kiansantang wafat dalam usia seratus enam tahun dan dimakamkan di sana. Kini tempat itu terkenal sebagai Makam Keramat Godog atau Makam Sunan Rohmat Suci. Sekitar satu kilo meter dari tempat ini berdirilah Masjid Pusaka Keramat Godog yang konon dibangun Kiansantang semasa uzlah. Dua tempat itu menjadi bukti adanya wali yang berasal dari keluarga raja Pajajaran.
Penutup;
Demikianlah sekilas mengenai uraian historis tentang Prabu Kian Santang dan perannya bersama Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.
Lokasi Petilasan - Prabu Kian Santang |
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.
Mengenai tokoh yang disebutkan sebagai Sayidina Ali dalam cerita ini, memang sedikit kontroversial. Mengingat kejadian, apakah mungkin yang dimaksud Sayidina Ali di sini adalah Ali Bin Abi Tholib RA, khalifah keempat dalam jajaran Khulafaur Rasyidin? Ataukah yang dimaksudkan adalah tokoh Sayidina Ali yang lain, mengingat angka tahun kejadian yang terpaut sangat jauh dengan masa kehidupan Sayidina Ali Bin Abi Tholib RA? Wallahu’alam.
Daftar Pustaka
• Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
• Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
• _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
• Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
• Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
• Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
• Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda.Bandung: Pustaka.
0 Response to "Hikayat kisah Prabu Kian Santang"
Posting Komentar